Negara
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak, gas serta batubara,
namun berkurangnya cadangan minyak, semakin sedikitnya sumber batubara dan
kualitas lingkungan menurun akibat penggunaan bahan bakar fosil yang
berlebihan. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber-sumber energi alternatif yang
terbarukan dan ramah lingkungan menjadi pilihan.
Pemanfaatan
energi alternatif pada saat ini sangat di cari dan penanggulangan permasalahan
pencemaran lingkungan serta maraknya isu global warning membuat orang-orang
mencari energi alternatif yang dapat digunakan, salah satu energi alternatif
biogas pada kotoran sapi. Penerapan sistem
peternakan yang menggunakan kotoran sapi sebagai bahan energi alternatif. Teknologi biogas merupakan salah satu teknologi tepat guna
untuk mengolah limbah peternakan.
Teknologi ini memanfaatkan mikroorganisme
yang tersedia di alam untuk merombak dan mengolah berbagai limbah organik yang
ditempatkan pada ruang kedap udara (anaerob). Hasil proses perombakan tersebut
dapat menghasilkan pupuk organik cair dan padat yang bermutu berupa gas yang
terdiri dari gas metana (CH) dan gas karbon dioksida (CO). Gas tersebut dapat
dimanfaatkan menjadi bahan bakar gas (BBG) yang biasa disebut dengan biogas.
Di
daerah Jawa timur terdapat energi alternatif kotoran sapi yang dijadikan
biogas. Jawa Timur merupakan salah satu Provinsi
penghasil daging nasional, dimana produksi sapi potong pada tahun 2014
diperkirakan mencapai 4.071.391 ekor. Sementara stok sapi secara nasional
berjumlah sekitar 13 juta hingga 14 juta ekor.
Potensi ini seharusnya
dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dan masyarakat, dimana sapi tidak hanya
diambil daging atau susunya, melainkan juga biogas yang dihasilkan dari kotoran
sapi.
Peluang ini yang
ditangkap oleh Iswandi, warga Wringinanom, Kabupaten Gresik, yang mampu memasok
biogas untuk sekitar 40 keluarga di kampungnya. Berawal dari melihat kotoran
sapi di peternakannya yang begitu saja terbuang, Iswandi bersama aktivis
lingkungan Prigi Arisandi menggagas dan membuat digester yang berfungsi
menampung kotoran sapi di peternakannya. Digester itulah sebagai penampung gas
yang dihasilkan dari kotoran sapi, untuk selanjutnya gas yang dihasilkan
disalurkan ke rumah-rumah warga menggunakan pipa sebagai bahan bakar pengganti
LPG.
Iswandi yang masuk
wilayah Wringinanom sejak 1991, mencoba usaha peternakan sapi perah dengan 200
ekor sapi pada 2005. Dari peternakan itu Iswandi memperoleh sekitar 2.000 liter
susu per hari, yang dijual kepada koperasi dan pabrik pengolahan susu. Baru pada
2013 dirinya membangun 2 unit digester berkapasitas masing-masing 50 meter
kubik, yang mampu menampung kotoran dari sekitar 80 ekor sapi.
“Disini yang mencoba
biogas selain saya belum ada. Kami dapat bantuan dari ESDM untuk bangun
digester ini, juga di awal kami memperoleh 20 kompor. Kami ingin kotoran sapi
ini dapat bermanfaat bagi banyak orang, tidak hanya dibuang begitu saja yang
dapat mencemari sungai atau lahan,” terang Iswandi, ditemui di rumahnya di
Wringinanom, Gresik.
2 unit digester yang
memakan biaya 110 juta rupiah, dapat memenuhi kebutuhan bahan bakar warga
terutama untuk memasak, selama kotoran sapi terus disalurkan ke digester.
Dengan adanya biogas dari kotoran sapi mampu mengurangi pengeluaran warga untuk
membeli LPG untuk memasak.
"Sama seperti kompor
biasa. Gak bisa habis kalau itu, kalau LPG bisa habis, ini gak bisa habis. LPG itu
1 bulan 2 kali / 2 tabung. Kalau ini gak ada habisnya. Sama gak ada baunya
apa2, kalau dipencet, ada bau uap biogas, kalau sudah nyala ya gak bau."
Sukemi yang merupakan
warga setempat mengaku sangat merasakan memanfaatkan biogas dari kotoran sapi,
sehingga terbantu secara ekonomi. Selain tidak berbeda dengan LPG untuk
kegunaan sebagai bahan bakar memasak, biogas juga diakui lebih aman dari bahaya
meledak.
“Ini sama dengan LPG,
malah gak habis-habis selama kotorannya masih ada. Biogas ini juga tidak berbahaya
karena kalau bocor sangat jelas baunya, tapi kalau sudah untuk masak tidak bau
lagi,” cerita Sukemi yang tidak dipungut biaya se-rupiah pun dari penggunaan
biogas ini.
Kusnan, seorang
pekerja peternakan mengungkapkan, bahwa proses menghasilkan biogas dari kotoran
sapi ini sangat mudah. Cukup mendorong kotoran ke parit yang telah disiapkan di
sekitar kandang, kotoran langsung mengalir menuju digester dengan bantuan
semprotan air.
“Tiap hari sapi mandi
jam 4 sore dan jam 14 siang. Kotorannya didorong ke parit dan dialirkan ke
penampungan biogas. Uap kotoran ditampung ke dalam tempat penampungan lalu
dialirkan dengan pipa, menuju ke pipa-pipa pada rumah-rumah warga yang
memanfaatkan,” jabar Kusnan yang mamastikan hasil akhir dari limbah ini tetap
dapat dimanfaatkan untuk pupuk organik.
Selain untuk biogas,
Iswandi berencana dalam waktu dekat untuk membuat digester baru, yang
difungsikan untuk energi pembangkit listrik. Iswandi merencanakan membuat
sebuah digester ukuran 100 meter kubik, sehingga dapat membangkitkan 10 kva.
“Ini minimal untuk
lampu. Kalau 1 rumah dijatah 200 watt itu sudah 50-60 rumah. Kedepan kita
tambah sapi di andang baru, jadi biogas yang dihasilakn dapat menghidupkan
genset atau power, jadi tidak perlu pusing lagi dengan listrik PLN,” ujar
Iswandi.
Namun demikian karena
usaha ini merupakan jenis yang padat modal, Iswandi berharap pemerintah memberi
kepercayaan kepada petani atau peternak untuk mengembangkan potensi biogas ini.
Salah satunya dengan pemberian bantuan kredit bunga ringan untuk pengadaan
sapi.
0 Comments